Angklung (Aksara Sunda Baku: ᮃᮀᮊᮣᮥᮀ)
adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang berkembang dari masyarakat
Sunda. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan
(bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi
yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik
besar maupun kecil. Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang
diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat
musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu yang dipotong ujung-ujungnya menyerupai
pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan
untuk menghasilkan bunyi.
Angklung (bahasa Inggris: Angklung dan Sunda: ᮃᮀᮊᮣᮥᮀ) adalah alat musik Indonesia yang terdiri dari dua
sampai empat tabung bambu yang digantung dalam rangka bambu, diikat dengan tali
rotan. Tabung kemudian dipangkas dan dipotong dengan hati-hati oleh seorang
pengrajin ahli untuk menghasilkan nada tertentu ketika kerangka bambu diguncang
atau diketuk.
Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan
dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.[1] Dan pada tanggal 16
November 2022, Mesin pencari terbesar, Google memajang Angklung di laman depan
situs sebagai Google Doodle untuk merayakan Hari Angklung Sedunia.[2]
Catatan mengenai angklung yang baru muncul merujuk pada masa
Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik
bambu seperti angklung berdasar pada pandangan hidup masyarakat Sunda yang
agraris dengan sumber kehidupan dari padi (paré) sebagai makanan pokoknya. Hal
ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi
Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).[3] Masyarakat Badui, yang dianggap
sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian
dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga,
Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk
memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut
adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu ater (awi temen), yang jika mengering
berwarna kuning keputihan. Tiap nada dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang
berbentuk bilah tiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Di antara fungsi angklung yang dikenal oleh masyarakat Sunda
sejak masa kerajaan Sunda adalah sebagai penggugah semangat dalam pertempuran.
Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada
masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang
masyarakat menggunakan angklung. Pelarangan itu sempat membuat popularitas
angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak-anak pada waktu itu.[butuh
rujukan]
Selanjutnya, lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri
tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang
bambu yang dikemas sederhana, dan kemudian lahirlah struktur alat musik bambu
yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen
dan Seren Taun dipersembahkan permainan angklung. Pada penyajian angklung yang
berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang
sifatnya arak-arakan, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong,
Dongdang, dan Jampana (usungan pangan) juga sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke
seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatra. Pada 1908, tercatat sebuah misi
kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai dengan penyerahan
angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan sejak 1966, Udjo Ngalagena, tokoh angklung yang
mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan
madenda, mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari
berbagai komunitas.
Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal
memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga
angklung tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan)
menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar menggoyang
angklung:
Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, di
mana tangan kanan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan
berkali-kali selama nada ingin dimainkan.
Centok (sentak), adalah teknik di mana tabung dasar ditarik
dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi
sekali saja (stacato).
Tengkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabung ditahan
tidak ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung
mengeluarkan nada murni (satu nada melodi saja, tidak dua seperti biasanya).
Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk
memainkan akord mayor (3 nada), sebab bila tidak ditengkep yang termainkan
adalah akord dominan septim (4 nada).